Friday, December 16, 2011

Sinar Mentari Cokelat yang Manis

Kekuatan adalah kapasitas untuk mematahkan satu batangan cokelat dengan tangan kosong menjadi empat keping - kemudian makan hanya sekeping darinya.
Judith Viorst
Di sini di India, bagi anak orang kaya, membeli sebatang cokelat adalah tindakan yang gampang dilakukan, tapi bagi anak miskin, itu anugerah besar. Cokelat merupakan camilan langka. Tak diragukan lagi, anak orang miskin bahkan tidak bisa sekadar menghabiskan lima rupee untuk membeli barang yang amat diinginkan ini. Cokelat di negara ini menjadi hak istimewa orang kaya. Orang miskin tak punya cokelat. Itu belum selesai.



Jalanan di Calcutta penuh dengan pengemis anak-anak. Aku tak memberi mereka uang karena aku tahu sebagian besar uang itu tidak akan menjadi milik mereka, namun kesedihan di mata mereka menyentak perasaanku yang paling dalam. Ali-alih, ketika aku melihat anak kecil mengemis, aku membelikannya sebatang cokelat. Ada satu anak di luar perguruan tinggiku yang bersikap layaknya teman terhadapku dan mengatakan "Hai!" kepadaku setiap kali aku melintas. Namanya, seperti yang kuketahui jauh hari kemudian, Raja.

Tanpa rencana, suatu hari aku membelikannya sebatang Diary Milk. Ketika dia mengambilnya dari tanganku, matanya berbinar. Saat memegang batangan cokelat itu di tangannya, seolah-olah dia mendapatkan emas. Rasa terima kasih menyelubunginya, dan dia menjadi malu dan berlari menjauh, segera setelah mengucapkan "Terima kasih, Didi!" dengan amat bersemangat. (Dalam bahasa India, didi digunakan untuk menunjuk kakak perempuan.)



Sedikit terkejut dengan kegembiraannya yang begitu besar, aku memandangnya sejenak ketika dengan bangga dia memamerkan perolehan terbarunya kepada teman-temannya; sebagian di antara mereka terbelalak, sementara anak-anak yang lebih nakal berusaha merebutnya, tapi jelas-jelas gagal. Setelah euforia awalnya mereda dan anak-anak lain mulai bosan dan berjalan menjauh, dia memanggil mereka kembali. Perlahan dia membuka kertas timah tipis pembungkus untuk menguak cokelat yang berwarna cokelat gelap itu, sementara yang lain melihat, ngiler, dalam keheningan penuh ketakjuban.

Benar-benar pamer, pikirku. Tapi, saat itulah dia melakukan sesuatu yang tak pernah kubayangkan. DIa mematahkan batangan cokelat itu menjadi lima kepingan besar dan membaginya dengan semua temannya, yang sekarang memperlakukannya layaknya setengah dewa. Aku mengira anak kecil itu bakalan ingin menyimpan cokelat itu, camilan langka itu, semua untuk dirinya sendiri.

Berulang kali aku membelikannya batangan cokelat sesudah itu, dan aku benar-benar berpikir dia akan menjadi tamak setelah beberapa waktu, tapi dia selalu membaginya sama rata di antara semua temannya. Suatu ketika aku bahkan berusaha membelikannya satu batangan yang benar-benar kecil, tapi entah bagaimana mereka juga bisa mendapatkan secuil darinya.

Sebelum membelikannya cokelat di salah satu hari-hari itu, aku bertanya kepadanya mengapa dia selalu membagi cokelatnya. Tanpa basa-basi dia memberikan jawaban yang membuatku agak malu. Dia hanya bertanya, "Didi, mereka adalah keluargaku; kami harus berbagi apa saja, besar atau kecil. Aku tak bisa memimpikan sesuatu tanpa membaginya dengan mereka semua. Kenapa kau bertanya? Tidakkah kau melakukan hal yang sama dengan keluarga atau teman-temanmu?" Setelah berkata begitu dia mengambil cokelat dari tanganku, berteriak gembira "Terima kasih!" (setelah berminggu-minggu rasa malunya sirna), dan melompat menyusuri trotoar untuk mencari keluarganya.

Apakah aku sudah bersikap egoistis? Apakah aku sudah menjadi terlalu sibuk dengan diriku sendiri untuk bahkan peduli tentang berbagi kegembiraan, kepemilikan, pencapaian, kesedihan, kegagalan.....kehidupanku? Apakah aku peduli dengan mereka yang paling aku cintai? Apakah mereka bahkan memikirkanku ketika memiliki sesuatu untuk dibagi, atau apakah mereka hanya menyimpannya untuk diri sendiri? Kata-kata Raja terus terngiang di telingaku.

Kadang tindakan terkecil kita membawa sinar mentari dalam kehidupan seseorang, dan sinar mentari itu secara otomatis meluber ke dalam kehidupan kita juga.

Radhika Basu Thakur
Chicken Soup For The Chocolate Lover's Soul
 

0 komentar:

Post a Comment