Wednesday, April 6, 2011

Batu Lompatan

Tepat sebelum subuh, aku mendengar suara laci pakaian dibuka-tutup. Aku tahu dia sedang bersiap untuk tugas jaga dua puluh empat jamnya. Pekerjaannya sangat menuntut, penuh dengan tanggung jawab dan resiko yang besar. Ketika dia berangkat kerja, aku selalu ingat akan panggilan telepon di pagi hari beberapa tahun yang lalu yang memberitahu bahwa dia mengalami cedera serius, dan perasaan tercekik yang kualami ketika aku memikirkan kemungkinan bahwa aku kehilangan dia.
Tak lama kemudian dia membungkuk dan menciumku. "Aku pergi," katanya, meninggalkan bau cologne ketika dia sibuk dengan tasnya yang besar dan keluar dari kamar tidur.
Ketika dia menghilang dalam kegelapan, bergabung dengan para pekerja yang tinggal di pinggiran kota, aku mengingat kembali saat pertama kali aku memperhatikannya berangkat bekerja dengan seragam biru pemadam kebakarannya. Dia membantu menjaga keamanan warga, katanya, tetapi itu tidak terlalu menghiburku. Aku menangis setengah hari dan merindukannya di malam hari.
Selama beberapa menit berikutnya, aku berbaring diam bersama pikiran-pikiranku. Bulan ini menandai ulang tahun pernikahan kami yang kedua puluh, aku ingin mengingat pernikahanku dengannya selama ini.
Sejak masih belia, aku telah memimpikan pernikahan di taman. Di hari yang sejuk, di bawah bayangan pepohonan, dengan beberapa orang saksi. Bunga-bunga kuning yang ditanam di pot akan mengangguk kepadaku ketika aku melewatinya menuju genggaman tangan kekasihku.
Untuk beberapa waktu sepertinya impianku akan pudar. Badai Allen mengamuk di teluk Meksiko. Ramalan cuaca menduga akan terjadi longsor tepat di hari pernikahan kami. Yang lebih parah lagi, nama badai itu sama dengan nama keluargaku. Sampai sekarang kami terus mendapat olok-olok tentang kejadian ini.
Tetapi, yang luar biasa, hari istimewa kami hanya mencurahkan hujan gerimis pada pesta pernikahan yang bahagia.
Hari berikutnya, keadaan sama sekali berbeda. Selama berjam-jam, angin dan hujan menghantam jendela hotel kami. Tetapi seperti layaknya pengantin baru, ramalan cuaca tidak terlalu berpengaruh bagi kami. San Antonio tidak pernah tampak seindah itu.
Di masa awal pernikahan kami, jelas bahwa dia memimpikan perjalanan dari pantai ek pantai, berjalan-jalan di pantai yang sepi, dan menghirup kopi tubruk di kafe-kafe yang bertengger di keteduhan bayangan pegunungan. Dia mengajariku cara menggunakan peta, kompas, dan jam matahari.
Pada waktu-waktu libur biasanya setahun sekali dia menyewa mobil karavan yang membawa kami ke tempat-tempat yang menakjubkan. Aku ingat senja-senja lembayung di sepanjang Pantai Emerald di Florida, yang memunguti bebatuan dari sebuah sungai kering di Great Smoky Mountains, menumpang Spirit of Vicksburg di sepanjang Sungai Mississippi, mengagumi warna-warni musing gugur di New ork, tidur di bawah bintang-bintang di kaki Pegunungan Appalachia, dan memandangi Air Terjun Niagara di dalam diam dan ketakjuban.
Banyak malam aku menemukan dia tertidur di sofa, dengan sebuah peta jalan menggeletak di dadanya. Aku tidak ingin membangunkannya. Aku tahu dia sedang memimpikan pondok-pondok kayu di tempat terpencil dan pemandangan antik kota-kota kuno.
Setelah kelahiran putri kami, aku mendapat sebuah ide gila: aku akan tinggal di rumah, membesarkan anak kami, dan aku akan menulis. Bukan hanya menulis, tetapi dibayar untuk menulis! Jelas ini bukan ide yang menggembirakan yang pernah didengarnya, tetapi ini adalah impianku, jadi dia menyetujuinya.
Kami tidak menyadari bahwa aku akan berenang melawan arus. Dan tepat ketika sepertinya aku akan tenggelam di dalam surat-surat penolakan, aku menemukan beberapa editor yang memberiku kesempatan. Arus berubah arah. Setiap kali tulisanku muncul di majalah dan koran, aku tidak tahu senyum siapa yang lebih lebar, senyumku atau senyumnya.
Suatu hari aku mendapat telepon dari sebuah penerbit. Naskah buku pertamaku diterima untuk diterbitkan. Kami menari berputar-putar di dapur sambil menyanyi "Cel-e-brate good times, come on!"
Dengan berjalannya waktu, aku belajar bahwa pernikahan bukanlah soal merayakan saat-saat yang baik; tetapi juga tentang berbagi derita. Hidup bersama tidaklah selalu memuaskan. Juga tidak selalu nyaman.
Kadang-kadang hidup kami penuh dengan kelihatan dan derita. Kami telah melewati penyakit-penyakit serius dan pembedahan besar, bertahun-tahun mengusahakan kehamilan, dan kekecewaan yang menyertainya. Kami berduka untuk kematian orangua kami, dan kami pernah marah akan kelalaian dokter yang nyaris menghilangkan nyawa satu-satunya anak kami. Kami pernah mengenal kepedihan dan kemarahan ketika harta warisan kami menghilang dicuri orang. Kami telah merawat patah kaki, patah jari, patah pundak, dan patah hati. Kami pernah terlibat di dalam pertengkaran yang pahit dan menjalani konseling pernikahan yang menyakitkan. Ada saat-saat ketika akan jauh lebih mudah untuk pergi meninggalkan pernikahan dan kadang-kadang kami nyaris melakukannya.
Tetapi, bahkan ketika kami menarik koper ke luar dari lemari dan pergi dengan kemarahan, aku tahu bahwa itu bukanlah akhir. Yang kami perlukan hanyalah waktu. Waktu untuk duduk dan menelaah kembali sesuatu yang bernama pernikahan, dan mengingat malam-malam musim panas yang memesona ketika kami saling berjanji untuk ada bagi satu sama lain dalam sakit dan sehat, dalam susah dan senang. Ingatan akan janji suci inilah yang menjembatani jurang antara kami. Inilah yang tetap menyatukan kami ketika cinta terasa sulit dipahami.
Bila direnungkan kembali, kedatangan badai di hari pernikahan kami sepertinya sangat cocok. Karena jelas kami pernah mengahadapi badai-badai kami. Tetapi rasanya sangat senang mengetahui bahwa kami bisa bertahan, mengetahui bahwa kadang-kadang kami berada dalam kesulitan yang serius, tetapi kami melakukan apa pun yang perlu dilakukan untuk tetap bersatu.
Kadang-kadang yang diperlukan untuk hidup melewati badai adalah meminta bantuan. Anda telah berenang melewati air yang dalam dan merayap ke kapal penyelamat. Anda saling bergantung dan menemukan sebuah tempat yang aman sampai badai terburuk berlalu. Terlepas dari apa pun kerusakan yang ditinggalkan oleh badai, Anda tahu bahwa bersama-sama, Anda akan menimba kekuatan untuk memperbaki dan membangun kembali.
Jadi teruslah bermimpi, kekasihku. Mimpikan kota-kota yang sibuk dan desa-desa terpencil. Mimpikan berlayar di laut biru dan berkuda di lembah-lembah berdebu. Aku akan hadir di dalam mimpimu. Bersama-sama kita akan berjalan di pantai-pantai musim panas, lalu menari di bawah purnama musim gugur sampai keabadian dimulai.
Dayle Allen Shockley
Chicken Soup for The Soul: Love Stories "Kekuatan Cinta" 

2 comments: