"Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja."
Seringnya mudah untuk melihat kesalahan orang lain, tapi sulit bagi kita untuk melihat kesalahan sendiri. Kita sering merasa diri kitalah yang benar dan segala yang berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita dapat dijadikan sumber kecaman atau setidaknya gunjingan. Tidak peduli siapa orangnya, jika apa yang mereka lakukan atau putuskan seperti keinginan kita, maka kita akan mempersalahkan mereka. Di pekerjaan, dalam bertetangga, atau bermasyarakat dan bernegara kita berlaku seperti itu, dalam lingkungan gereja atau persekutuan pun sama saja. Ketika kita merasa sudah rajin beribadah, rajin berdoa dan sebagainya, berhati-hatilah agar tidak terlena dan merasa bahwa kita sudah menjadi yang paling sempurna. Bukan berarti kita tidak boleh bersyukur, itu tentu baik. Namun jangan kemudian menjadi sombong dan menganggap orang lain berada di bawah tingkat kerohanian atau kepatuhan kita. Orang-orang Farisi di jaman Yesus ada di muka bumi ini menjadi contoh nyata mengenai apa yang saya sebutkan di atas.
Mari kita lihat sepenggal saja bagian dari Markus 3 yaitu dalam perikop mengenai "Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat". Pada saat itu Yesus menjumpai seseorang yang lumpuh sebelah tangannya. Di sana ada sekumpulan orang Farisi yang sejak awal sudah bertujuan tidak baik. Mereka sejak awal memang mau mencari-cari kesalahan Yesus, dan mungkin inilah saat yang tepat, begitu pikiran mereka, karena mereka tahu Yesus pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang lumpuh tangannya, padahal itu hari Sabat dimana seharusnya tidak ada yang boleh melakukan pekerjaan sesuai hukum Taurat. Sikap yang dipertontonkan orang-orang Farisi ini sungguh mengecewakan. Ketika mereka seharusnya peka terhadap permasalahan umatnya, ketika mereka seharusnya menjadi contoh teladan, yang mereka lakukan malah mencari-cari kesalahan dan menghakimi. Mereka terjatuh kepada dosa kesombongan, merasa diri paling benar, paling kudus, paling sempurna, sehingga hati mereka pun menjadi sangat keras. Setidaknya kita bisa melihat hal-hal berikut dari perilaku orang Farisi disana: mengecam pelayan/hamba Tuhan, melindungi tradisi keagamaan lebih dari mematuhi kehendak Tuhan, mementingkan keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri ketimbang orang lain di sekitar mereka, juga kesombongan merasa diri paling benar atau paling sempurna. Wajar jika Yesus pun merasa kecewa dan kesal dengan sikap mereka. "Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? " Tetapi mereka itu diam saja." (Markus 3:4). Lihatlah bahkan setelah ditegur Tuhan sekalipun mereka tetap diam tanpa menyadari sedikitpun kesalahan mereka. Kedegilan mereka dikatakan mendatangkan dukacita dan kemarahan bagi Yesus. (ay 5).
Ciri-ciri seperti orang Farisi itu tentu sering kita dapati pada orang-orang di sekitar kita, malah mungkin kita pun sekali waktu pernah melakukan hal seperti itu dalam hidup kita. Jika tidak hati-hati kita bisa terjatuh pada kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh para orang Farisi ini. Kita seringkali terlalu asyik dalam melakukan dan mengucapkan hal yang "benar" bagi diri kita sendiri sehingga tanpa sadar kita telah membiarkan hangatnya kasih Tuhan menjadi dingin. Ketika itu terjadi, kita pun akan dengan mudah jatuh kepada kesombongan, mementingkan diri sendiri dan tidak lagi peka terhadap persoalan yang dihadapi orang-orang di sekeliling kita. Bukannya menolong tapi malah bergunjing, mengkritik dan mengata-ngatai mereka.
Kegerakan dan kebangunan rohani secara besar-besaran tidak akan bisa terjadi jika kita masih terjebak dalam lubang yang sama seperti para Farisi ini. Oleh karena itulah jika kita ingin menyaksikan itu terjadi, jika kita ingin mengalami kuasa Tuhan dalam hidup kita dan juga dalam gereja kita, kita harus memeriksa diri kita sendiri secepatnya. Jika kita masih menemukan kedegilan atau kekerasan hati seperti itu, itu tandanya kita harus segera bertobat dan melembutkan hati. Firman Tuhan juga berkata "Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7), yang mengacu pada ayat dalam Mazmur 94:8. Hati yang keras akan membuat kita tidak lagi bisa mendengar perintah Tuhan, tidak lagi memiliki empati kepada sesama. Hati yang keras akan membuat kita semakin lama semakin degil. Hati yang keras akan menghambat curahan berkat dari Tuhan, bahkan menyekat hubungan kita dengan Tuhan. Kita harus mau memeriksa diri kita sendiri terlebih dahulu untuk melihat apakah masih ada sikap-sikap kita yang menghambat pertumbuhan rohani sesuai dengan yang diinginkan Tuhan dalam diri kita. Yakobus mengatakan "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:27). Itu harus kita lakukan, karena jika tidak, maka itu artinya kita melewatkan kesempatan untuk memperoleh firman yang tertanam dengan baik dalam hati kita, dan dengan sendirinya membuang peluang untuk mendapatkan kuasa yang menyelamatkan.
Ketika anda rajin mendalami firman Tuhan, pastikan anda memiliki hati yang lembut agar firman itu bisa tertanam dengan baik. Tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tapi juga tersalur ke luar agar menjadi berkat bagi orang lain. Jadilah anak-anak Tuhan yang peka terhadap pergumulan saudara-saudara kita. Bukan menghakimi, tapi bantulah mereka. Jika anda masih menemukan bagian-bagian keras dalam hati anda, mintalah Tuhan memberi hati yang lembut saat ini juga, sebentuk hati yang akan memungkinkan tuhan untuk melimpahkan rahmatNya pada anda.Harden not your heart, keep it soft so His Words can grow nicely in you
diKutiP daRi rEnunGAn haRian OL
Seringnya mudah untuk melihat kesalahan orang lain, tapi sulit bagi kita untuk melihat kesalahan sendiri. Kita sering merasa diri kitalah yang benar dan segala yang berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita dapat dijadikan sumber kecaman atau setidaknya gunjingan. Tidak peduli siapa orangnya, jika apa yang mereka lakukan atau putuskan seperti keinginan kita, maka kita akan mempersalahkan mereka. Di pekerjaan, dalam bertetangga, atau bermasyarakat dan bernegara kita berlaku seperti itu, dalam lingkungan gereja atau persekutuan pun sama saja. Ketika kita merasa sudah rajin beribadah, rajin berdoa dan sebagainya, berhati-hatilah agar tidak terlena dan merasa bahwa kita sudah menjadi yang paling sempurna. Bukan berarti kita tidak boleh bersyukur, itu tentu baik. Namun jangan kemudian menjadi sombong dan menganggap orang lain berada di bawah tingkat kerohanian atau kepatuhan kita. Orang-orang Farisi di jaman Yesus ada di muka bumi ini menjadi contoh nyata mengenai apa yang saya sebutkan di atas.
Mari kita lihat sepenggal saja bagian dari Markus 3 yaitu dalam perikop mengenai "Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat". Pada saat itu Yesus menjumpai seseorang yang lumpuh sebelah tangannya. Di sana ada sekumpulan orang Farisi yang sejak awal sudah bertujuan tidak baik. Mereka sejak awal memang mau mencari-cari kesalahan Yesus, dan mungkin inilah saat yang tepat, begitu pikiran mereka, karena mereka tahu Yesus pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang lumpuh tangannya, padahal itu hari Sabat dimana seharusnya tidak ada yang boleh melakukan pekerjaan sesuai hukum Taurat. Sikap yang dipertontonkan orang-orang Farisi ini sungguh mengecewakan. Ketika mereka seharusnya peka terhadap permasalahan umatnya, ketika mereka seharusnya menjadi contoh teladan, yang mereka lakukan malah mencari-cari kesalahan dan menghakimi. Mereka terjatuh kepada dosa kesombongan, merasa diri paling benar, paling kudus, paling sempurna, sehingga hati mereka pun menjadi sangat keras. Setidaknya kita bisa melihat hal-hal berikut dari perilaku orang Farisi disana: mengecam pelayan/hamba Tuhan, melindungi tradisi keagamaan lebih dari mematuhi kehendak Tuhan, mementingkan keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri ketimbang orang lain di sekitar mereka, juga kesombongan merasa diri paling benar atau paling sempurna. Wajar jika Yesus pun merasa kecewa dan kesal dengan sikap mereka. "Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? " Tetapi mereka itu diam saja." (Markus 3:4). Lihatlah bahkan setelah ditegur Tuhan sekalipun mereka tetap diam tanpa menyadari sedikitpun kesalahan mereka. Kedegilan mereka dikatakan mendatangkan dukacita dan kemarahan bagi Yesus. (ay 5).
Ciri-ciri seperti orang Farisi itu tentu sering kita dapati pada orang-orang di sekitar kita, malah mungkin kita pun sekali waktu pernah melakukan hal seperti itu dalam hidup kita. Jika tidak hati-hati kita bisa terjatuh pada kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh para orang Farisi ini. Kita seringkali terlalu asyik dalam melakukan dan mengucapkan hal yang "benar" bagi diri kita sendiri sehingga tanpa sadar kita telah membiarkan hangatnya kasih Tuhan menjadi dingin. Ketika itu terjadi, kita pun akan dengan mudah jatuh kepada kesombongan, mementingkan diri sendiri dan tidak lagi peka terhadap persoalan yang dihadapi orang-orang di sekeliling kita. Bukannya menolong tapi malah bergunjing, mengkritik dan mengata-ngatai mereka.
Kegerakan dan kebangunan rohani secara besar-besaran tidak akan bisa terjadi jika kita masih terjebak dalam lubang yang sama seperti para Farisi ini. Oleh karena itulah jika kita ingin menyaksikan itu terjadi, jika kita ingin mengalami kuasa Tuhan dalam hidup kita dan juga dalam gereja kita, kita harus memeriksa diri kita sendiri secepatnya. Jika kita masih menemukan kedegilan atau kekerasan hati seperti itu, itu tandanya kita harus segera bertobat dan melembutkan hati. Firman Tuhan juga berkata "Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7), yang mengacu pada ayat dalam Mazmur 94:8. Hati yang keras akan membuat kita tidak lagi bisa mendengar perintah Tuhan, tidak lagi memiliki empati kepada sesama. Hati yang keras akan membuat kita semakin lama semakin degil. Hati yang keras akan menghambat curahan berkat dari Tuhan, bahkan menyekat hubungan kita dengan Tuhan. Kita harus mau memeriksa diri kita sendiri terlebih dahulu untuk melihat apakah masih ada sikap-sikap kita yang menghambat pertumbuhan rohani sesuai dengan yang diinginkan Tuhan dalam diri kita. Yakobus mengatakan "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:27). Itu harus kita lakukan, karena jika tidak, maka itu artinya kita melewatkan kesempatan untuk memperoleh firman yang tertanam dengan baik dalam hati kita, dan dengan sendirinya membuang peluang untuk mendapatkan kuasa yang menyelamatkan.
Ketika anda rajin mendalami firman Tuhan, pastikan anda memiliki hati yang lembut agar firman itu bisa tertanam dengan baik. Tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tapi juga tersalur ke luar agar menjadi berkat bagi orang lain. Jadilah anak-anak Tuhan yang peka terhadap pergumulan saudara-saudara kita. Bukan menghakimi, tapi bantulah mereka. Jika anda masih menemukan bagian-bagian keras dalam hati anda, mintalah Tuhan memberi hati yang lembut saat ini juga, sebentuk hati yang akan memungkinkan tuhan untuk melimpahkan rahmatNya pada anda.Harden not your heart, keep it soft so His Words can grow nicely in you
diKutiP daRi rEnunGAn haRian OL
0 komentar:
Post a Comment