Thursday, August 4, 2011

Aku Sangat Mencintainya

Pendeta sudah hampir selesai membacakan doa pada upacara pemakaman. Tiba-tiba pria berumur 78 tahun yang istrinya - teman hidupnya selama lima puluh tahun - meninggal dunia dan baru saja dimakamkan berseru dengan sedih, "Aduh, aduh, betapa besarnya cintaku kepadanya!"

Ratapan itu terasa sangat mengganggu ketenangan upacara yang berlangsung khusyuk itu. Para anggota keluarga dan teman-teman yang berdiri di sekeliling makam tampak kaget dan bingung karenanya. Anak-anak pria itu, semua sudah dewasa, berusaha menenangkannya. "Sudahlah, Ayah - kami mengerti. Sudah, tenanglah." Pria lansia itu menatap peti mati yang dengan perlahan-lahan diturunkan ke dalam liang makam, sementara pendeta mengakhiri doa. Setelah selesai, sanak keluarga dipersilahkan menaburkan tanah ke atas peti mati sebagai tanda bahwa maut merupakan akhir yang pasti. Hadirin secara bergiliran melakukannya, kecuali pria lansia itu. "Ya, ampun, aku sangat mencintainya!" ratapnya dengan suara keras. Ketiga anaknya berusaha lagi menenangkannya, tetapi ia terus saja beratap, "Aku mencintainya!"

Ketika para pelayat mulai beranjak hendak pergi, pria itu tetap saja berdiri di tempat semula sambil menatap ke dalam liang. Kini pendeta menghampirinya, "Saya tahu bagaimana perasaan Anda, tetapi kini sudah waktunya pergi. Kita semua harus pergi dari sini dan meneruskan kehidupan kita."

"Aduh, betapa besar cintaku kepadanya!" keluh pria malang itu dengan sedih. "Anda tidak mengerti," ujarnya kepada pendeta. "Saya pernah sekali hendak mengucapkannya kepadanya."

Dikutip dari A Cup of Chicken Soup for the Soul
by Hanoch McCarty, Ed. D.

Kelemahan terbesar dari kebanyakan manusia adalah keseganan untuk menyatakan pada orang lain betapa mereka menyayangi orang-orang itu sewaktu mereka masih hidup.
O. A. Battista
 

0 komentar:

Post a Comment