Friday, December 3, 2010

Sepasang Tangan untuk Digenggam

"Sayang, kau sangat dan beruntung. Dulu aku punya apa yang kau miliki."

Seorang ibu tua berpakaian rapi yang duduk di bangku gereja sebelahku mengejutkanku ketika dia mendoyongkan tubuhnya dan berbicara padaku setelah selesai kebaktian di hari Minggu. Dengan agak bingung aku mengucapkan terima kasih, meski pada saat itu aku tidak terlalu mengerti apa yang dimaksudkannya di balik kata-katanya. Apa yang aku miliki yang tidak dimiliki oleh perempuan yang jelas kaya ini? Kalung mutiara indah menghiasi lehernya, dan mau tak mau aku melihat banyak permata berkilauan menghiasi jari-jari keriputnya.

Ketika aku melihat ke jari-jariku sendiri, jawabannya menjadi jelas. Tangan suamiku tertaut di tanganku. Bersama-sama mendengarkan kotbah di Minggu pagi telah mebimbing kami ke kedekatan alami dengan Tuhan dan dengan satu sama lain. Sering kali suamiku akan meraih tanganku selama kotbah atau merangkulku selama doa hening dan perenungan. Saat-saat bersama ini adalah sesuatu yang kudus bagi kami, saat yang lebih dalam daripada apa yang terlihat di permukaan. Dengan dua putri kecil kami berada di ruang sekolah Minggu, kami memiliki waktu untuk berhubungan kembali dan "mengisi baterai" setelah seminggu menggeluti kerja keras, kelompok bermain, dan penggantian popok.

Ketika aku memandang perempuan tua itu, aku menyadari bahwa dia duduk sendirian. Kemungkinan besar, suaminya yang pernah mengenggam tangannya di Minggu-minggu pagi telah berpulang dan meninggalkan kenangan yang sekarang sedang kualami bersama suamiku.

"Aku sangat beruntung," bisikku menjawab perempuan itu. Ketika aku berdiri dan bersiap meninggalkan gereja, aku memandang suamiku, Allen, dan tersenyum. Apa yang kumiliki bersamanya memang sebuah berkat spesial.

Sebagai ibu rumah tangga berusia tiga puluhan, aku menikmati peluang untuk mengobrol dengan ibu-ibu seusiaku dan bertukar kisah tentang anak-anak kecil kami. Tetapi, ketika topik beralih dari giliran mengantar anak-anak ke sekolah ke keluhan kepada pasangan, aku menjadi terbisu. Banyak kisah tentang para suami yang tidak mau terlibat di dalam pengasuhan anak atau pekerjaan rumah. Begitu pula tentang suami yang pergi berhari-hari (berminggu-minggu, berbulan-bulan....) dan pulang dalam keadaan kehabisan energi untuk percintaan atau keluarga.

Selama tujuh tahun pernikahan, sekarang aku menyadari bahwa aku adalah perempuan yang sangat beruntung! Suamiku, Allen pernah menjadi seorang eksekutif oerusahaan dengan semua tekanan perjalanan jarak jauh, perjalanan bisnis, dan kemungkinan yang sangat nyata untuk dipindah ke tempat lain, jauh dari keluarga dekat--telah membuat keputusan yang sulit untuk berhenti dari pekerjaan bergengsinya. Sekarang dia memiliki bisnis kecil sendiri di kota kami. Sebagai ganti bonusnya sebagaieksekutif, sekarang dia mendapat bonus untuk bertemu dengan dua gadis kecil kami ketika kami makan siang bersama setiap hari. Daripada pulang kerja sesudah pukul 19.00, sekarang Allen selalu hadir untuk makan malam keluarga setiap pukul 18.00. Seperti setiap keluarga yang memiliki anak-anak kecil, banyak perkerjaan yang tertinggal setelah makan malam. Kami bergantian memandikan anak, membacakan cerita, dan mencuci piring. Bukannya menarik diri dengan menonton siaran olahraga atau berpura-pura melakukan sesuatu yang "macho" di garasi atau ruang bawah, suamiku berada di sisiku ketika kami bersama-sama menyelesaikan tugas rumah tangga di malam hari.

Di akhir minggu, aku adalah perempuan beruntung yang tidak perlu memasak satu kali pun. Sirup mapel yang hangat dan aroma kopi hazelnut membumbung ke ruang atas ketika Allen menyiapkan sarapan di dapur dan memungkinkan aku menikmati kemewahan berlama-lama mandi air hangat. Pria yang luar biasa ini tidak ragu memberiku istirahat yang sangat kuperlukan ketika aku ingin pergi belanja atau makan siang bersama teman-teman. Ketika kembali, aku menemukan manusia salju di halaman, kuil LEGO di ruang bermain, dan dua putri kecilku mengenakan mahkota kertas buatan ayahnya.

"Tadi Dad membuatkan piknik teddy bear," seru putriku yang berusia empat tahun ketika aku masuk ke rumah, penuh dengan belanjaan.
"Kami makan makanan sungguhan! Pretzel dan kismis di atas selimut tebal!"

Aku mendapatkan waktu untuk belanja dan bersosialisasi tanpa tas-tas popok, tetapi anak-anakkulah penerima hadiah yang sesungguhnya...waktu bersama ayah mereka yang menakjubkan. Pria yang menyetrika semua pakaian kami, memasak, membersihkan, dan membungkus setiap hadiah Natal (jujur saja, aku hanya merekat pita dan kartunya!) juga sangat murah hati dalam curahan kasihnya kepadaku. Setelah anak-anak tidur sering kali aku menemukan diri duduk di depan perapian hangat atau beberapa lilin menyala. Teh herbal disajikan kepadaku sementara kami membahas kelucuan terakhir anak-anak kami atau harapan-harapan masa depan kami.
Aku menyadari bahwa perempuan tua di gereja itu sangat benar. Apa yang kumiliki sangatlah spesial. Aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena diberkahi seorang suami yang tidak begitu peduli dan pemberi. Melalui kata-kata orang yang tidak kukenal, aku diingatkan untuk menghargai setiap saat bersama pria yang kucintai. Aku sungguh-sungguh berniat untuk tetap membuat jari-jari kami tertaut selama Tuhan mengizinkannya.


By: Stefanie Wass
Chicken Soup for The Soul: Love Stories

0 komentar:

Post a Comment