Seni cinta....umumnya adalah seni ketekunan. [Albert Ellis]
Ruang makan dipenuhi keluarga. Kami sudah benar-benar mempersiapkan acara Yultide Gathering ini, semua telah mendapatkan hadiah-hadiahnya di bawah pohon Natal setinggi dua meter. Selain dekorasi tradisional, sebuah kursi kosong mengingatkan aku pada Ann, ibu mertuaku, yang sudah menghadap kembali kepada Sang Penciptanya. Perayaan dimulai dengan saat hening. Aku memandangi kursi itu dengan penuh kasih. Aku menundukkan kepala.
Doa untuk Ann dibacakan dengan suara keras:
Bapa kami yang disurga, kami berkumpul di sini dengan rendah hati, penuh syukur, dan gembira. Kami bersyukur kepadaMu untuk keajaiban besar kehidupan, untuk kebahagiaan menjadi manusia, untuk kapasitas untuk mencintai......
Aku memejamkan mata dan teringat kembali ketika pertama kali bertemu Ann. Dia pasienku di klinik dialisis tempat aku bekerja. Dia melempar senyum termanis yang pernah ku lihat. Setelah satu tahun perawatan dan tepat sebelum Natal, Ann berpaling kepadaku dan berkata, "Aku ingin Anda bertemu dengan putriku, Connie." Dia mengulurkan foto seukuran dompet.
"Ann! Senyumannya seperti senyummu!" kataku. "Kalau beruntung, aku akan bertemu dengan putrimu, mengajaknya makan malam, nonton film, menikah dengannya, dan memberimu cucu di Natal tahun depan!"
Ann terkikik perlahan.
Beberapa hari kemudian, atasanku, Charles, memintaku untuk bekerja ekstra selama beberapa jam untuk merawat salah satu pasien baru di unit perawatan koroner. Dia adalah Ann. Ketika tiba, aku melihat putrinya, orang yang ada di foto, bersamanya. Rasa panas menjalar ke seluruh tubuhku seakan-akan tersambar petir. Aku berdiri disana, letih belum bercukur dan gemetar--kesan pertama yang "hebat".
"Hai, saya Ray Duarte, perawat ibu Anda."
Connie tersenyum lega. "Oh, untung ada Anda. Ibu sangat mempercayai Anda."
Sepertinya Connie tahu banyak tentang aku, meskipun kami belum pernah bertemu, sehingga mempermudahkan aku untuk berkenalan dengannya. Bersama-sama kami menemani ibunya melalui perawatan yang sulit. Kemudian aku mendatangi atasanku. "Charles, setiap kali Ann membutuhkan perawatan, bisakah aku yang merawatnya?"
Dia setuju.
Dengan rahmat Tuhan, Ann membaik. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, dia diperbolehkan pulang dan kembali sebagai pasien rawat jalan di pusat dialisis,tempat biasanya aku bekerja sebagai perawat kepala. Pada hari perawatan pertama Ann setelah pulang dari rumah sakit, aku memberitahu seluruh staff bahwa jika putri Ann, Connie, menelepon, agar disambungkan kepadaku.
Tidak lama kemudian Connie menelepon untuk mengecek keadaan ibunya.
"Oh, hallo? Ya, ibumu ada disini. Saya telah memulai perawatannya dan dia baik-baik saja." Dengan pengantar yang tepat, aku mengajukan pertanyaan, mengajaknya makan malam. Hening panjang aku mulai gelisah. Akhirnya Connie berkata, "Ya, saya bersedia"
Aku dan Connie berusia tiga puluhan. Dia belum pernah menikah. Ditengah kekhawatiran akan kesehatan ibunya, baginya pacaran tidak menjadi prioritas. Tetapi sepupunya Luccile, membantu menemani Ann ketika Connie dan aku berkencan. Kami menonton film, makan bersama, dan membicarakan banyak hal.
Aku tahu Connie bahkan tidak ingin mendengar kata cinta, jadi dengan perlahan dan lembut, setelah berminggu-minggu berkencan, aku mengatakan padanya betapa aku mencintai ..........senyumnya. Semuanya memang dimulai dengan senyumnya yang indah. Senyum yang dia dapatkan dari ibunya.
Suatu hari aku berkata, "Connie, aku mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?"
Hening merentang di antara kami, sebuah suara kecil di dalam diriku bertanya, Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan?
Akhirnya dia tersenyum dan menjawab, "Tanyakan kembali nanti ya."
Dia memikirkan pertanyaanku dengan serius, dan yang lebih penting, dia tidak menjawab "tidak". Sekarang aku harus menemukan orang yang lebih cerdik untuk mengatakan "Aku Mencintaimu" Maukah kau menikah denganku?" Aku yakin aku harus berulang kali mengajukan pertanyaan itu sebelum akhirnya Connie menjawab ya.
Setelah beberapa upaya yang gagal, suatu malam aku mengatakan "Connie, tahukah kau bahwa kata ya seperti senyuman yang bertahan selamanya?" Ternyata mempan.
Aku dan Connie menikah setahun kemudian. Keinginan ibunya terkabul. Aku bersikeras ibunya harus tinggal bersama kami, agar kami dapat merawatnya.
Aku mencintai Ann, dia telah memberi hadiah terbesar di dalam hidupku. Dia telah memberikan putrinya sebagai belahan jiwaku. Setahun setelah kami menikah, ibunya meninggal. Tetapi jiwanya selalu hadir bersama kami.
Teriakan gembira anak-anak yang berlarian mengitari meja mengejutkan lamunanku. Lucille memenangkan anak-anak.
"Sst, Santa sudah dekat"
Aku menundukkan kepala ketika doa Ann ditutup:
Untuk kebijaksanaan orang tua
Untuk keberanian orang anak muda
Untuk janji anak-anak
Untuk kekuatan yang datang karena dibutuh kan
Hari ini berkumpul.
Hari ini berkumpul disini, kepada siapa.
Rahmat telah banyak dikaruniakan dan dari siapa rahmat harus dibagikan. Semoga kami dan anak-anak kami selalu mengingat ini.Amin
Aroma pinus, kue kering, dan kopi segar menemani udara dan memberi suasana sambutan hangat bagi keluarga yang sekarang berkumpul. Dua puluh Natal telah berlalu, dan setiap hari aku bersyukur. Di dekat kursi Ann yang kosong, aku menggenggam tangan Connie dan bersamanya mengingat bahwa "kata ya seperti senyuman yang kan bertahan selamanya."
Ray Duarte
[dikutip dari Chicken Soup for The Soul: Love Stories]
0 komentar:
Post a Comment